Kamis, Mei 28, 2009

facebook dimataku


Facebook buat gw adalah sebuah alat komunikasi, salah satu sarana untuk bersosialisasi, saling mengenal satu sama lain, berdiskusi, bertukar pikiran, dan yang lainnya.

di facebook juga lah gw bisa ketemu lagi dengan temen-temen lama gw, sahabat, juga saudara jauh. facebook lah yang dapat mengajak gw untuk lebih mengenal dunia luar, berkenalan dengan orang-orang dari daerah lain yang jauh, sampei dijadiin pelampiasan orang yang ga' seneng sama gw, yg sebel, yang ngerasa bete sama gw, aduuuh, banyak deh pengalaman yang bisa gw dapetin dari facebook.

akhir-akhir ini ada yang mengeluarkan fatwa bahwa facebook itu haram,, tapi gw ga setuju dengan fatwa tersebut, karena gw ngerasa kalo gw menggunakan facebook bukan untuk hal-hal yang dilarang.

maju terus facebook.........!!!!

Selasa, Mei 26, 2009

Tempat Pengaduan

Sampai juga ku di pantai ini. tempat pengaduanku dulu waktu kecil. disinila dulu aku sering mengungkapkan kekesalanku pada orang tua yang kadang nyebelin, kakakku, temanku, dan dari masalah lainnya.

di pantai inilah biasanya ku teriakkan semua kekesalanku, masalahku, biar terlepas ke laut lepas. Atau juga ku gureskan semua masalah yang kualami di pasir putih ini dengan sepotong kayu, kemudian membiarkan sang ombak menghapus semua masalahku itu. atau mungkin, ku ambil sebuah batu sebesar genggamanku, dan kuanggap itu masalahku, lalu kulemparkan masalahku jauh-jauh. menembus ombak, dan tenggelam di laut. aku pun pulang dengan perasaan yang lega. tiada lagi beban.

telah lama aku tak lakukan hal itu lagi. kurang lebih tiga tahun. ya, mungkin inilah saatnya, disaat ini aku ingin melepaskan semua masalah yang kualami ini. aku pun berteriak sekeras-kerasnya, tak ada yang mendengar, tak ada yang menyahut lenyap dimakan debur ombak. kugureskan tulisan tak beraturan yang kuanggap permasalahanku, kemudian ombak menghapusnya. ku lemparkan batu di genggamanku ini ke lautan, dan tenggelam di dasar samudera.

tapi, kali ini belum juga kurasakan tenang dan leganya hatiku. masih ada yang mengganjal di hati dan pikiranku. mungkin terlalu berat masalah yang kualami kali ini. Pandangan mataku pun menangkap sebuah botol yang tergeletak di pasir putih itu. dan segera ku ingat catatanku ynag kusimpan di saku celanaku. catatan tentang masalahku ini. segera kuambil catatan itu, dan ku masukan kedalam botol kaca tersebut, kututup rapat. lalu kulempar ke tengah lautan, terombang-ambing di mainkan ombak, kemudian hilang ditelan samudera hindia.

aahh, lega juga akhirnya. bebas dari masalahku, aku pun pulang dengan tak ada lagi beban. rasa capek membuatku langsung menuju kamar tidurku dan terpejam.
dia lagi..!!!, kenapa dia kembali lagi!??? padahal sudah aku buang semua cerita tentang dia kedalam luasnya samudera hindia. tapi kenapa masih bisa kembali??? laki-laki itu... dia masih bersamanya. mereka bergandengan dengan mesra,
aku pun terbangun, mimpi itu lagi....

ya Tuhan, aku lupa shalat Magrib, ini sudah jam tujuh malam. ah, aku melupakanMu. akan ku kembalikan semuanya kepadaMu. ya Tuhanku, Engkaulah tempatku mengadu. ya Allah, ampuni dosaku, aku telah lama melupakanmu....

Rabu, Mei 20, 2009

Kuburan


band yang satu ini memiliki daya tarik yang berbeda dengan gruop band lainnya. dengan tema dan penamilan yang begitu menyeramkan namun berhati lembut dan humoriez. lagu-lagunya pun kocak-kocak, inilah inspirasi baru karya anak bangsa ....
maju terus kuburan....!!!!

SC

SMART COMMUNITY
"ah ga' smart2 amat.."
SC adalah sebutan untuk kost-an gw yang berada di jalan KintamaniC no.21, perum Bumi Bekasi Baru, Kelurahan Pengasinan, Kecamatan Rawa lumbu, Bekasi. katanya sih SC itu singkatan dari Smart Community, tapi menurut gw ah, ga smart2 amat... hee..

ada 8 orang penghuni SC. Diketuai oleh Bang fahri (tokoh utama AAC, heheh..). semua penghuni SC adalah Mahasiswa salah satu Perguruan tinggi Swasta di Bekasi yaitu UNISMA Bekasi. dengan berbagai macam suku(tapi yang paling banyak Orang Sunda euy...), dari jurusan yang ber beda2, berikut ini nama-nama para penghuni surga, eh penghuni SC ding,:

Ketua :
Nama :Fahri
TTL:
Asal: Lampung
Jurusan: Akuntansi
Angkatan:2005

Anggota:
1.
nama: Eli Sunarya
TTL: sumedang, 23/06/ 1987
asal: Sumedang
Jurusan: Teknik Elktro
angkatan: 2005

2.
nama: Asep Nazmudin
TTL:
Asal: Jonggol, Bogor
Jurusan: Ilmu Pemerintahan
Angkatan: 2007

3.
nama: Anton Suwanto
TTL:
Asal: Gabus, bekasi
Jurusan: Teknik Elektro
Angkatan: 2006

4.
nama: Rohadi
TTL:
Asal: Cibarusah, Bekasi
Jurusan: Akuntansi
Angkatan: 2006

5.
nama: Romli
TTL:
Asal: Rengas dengklok, karawang
Jurusan: Akuntansi
Angkatan: 2008

6.
nama: Imron Rosadi
TTL:
Asal: Rengas dengklok, karawang
Jurusan: Manajemen
Angkatan: 2008

7.
nama: Addie Awaludin H
TTL: Lebak, 29 11/1989
Asal: Bayah, Banten
Jurusan: Adminisrtasi Negara
Angkatan: 2008

MottoSC adalah "We Will Not Go Down", tapi gw ganti dengan " Ah GA Smart-Smart Amat"
hahahah............

Manusia Bodoh 2


Dari awal ku tak percaya

Kalau kau miliki rasa itu

Jika ku slalu kau pikirkan

Bahwa kita menyimpan perasaan yang sama


Namun entah mengapa

Sedikit demi sedikit, rasa itu datang

Seiring dengan berjalannya waktu

Semakin besarnya perhatianmu padaku


Biar kini kusimpan saja Perasanku padamu

Dalam peti yang kukunci dengan rapat

Kukubur lagi Jauh lebih dalam

Didasar hatiku..


Terlalu bodoh memang

Mengharapkan dirimu yang sempurna

Dan aku dengan keterbatasanku

Sekali lagi kumohon maafkan aku


Menjadi temanmu

Sudah lebih dari cukup bagiku

Biar kini kita jalani

jalinan persahabatan

Minggu, Mei 17, 2009

pil pres '09

tiga capres cawapres telah terdaftar di KPU. ada JK-Win, SBY Berbudi, Mega Pro. mau pilih yang mana??? tinggal dipilih dipilih dipilih serebu tiga ....... (emank obral, ahahahaaaa...)
masa depan bangsa tergantung pilihan kita juga chuy...!!!

key deh met pusing aj ,, w cabut dulu, daaaa.....

Kamis, Mei 14, 2009

"Budi"

sepetri biasa, tiap sabtu pagi anak SC (sebutan kost-an gw) rutin maen futsal di lapangan kampus,
si Imron lagi siap-siap pake sepatu, roni ngeliatin, trus bilang "Imron udah kaya Budi aja.."
"Budi sudarsono ya?, iya dong..!" kata si Imron dengan bangganya.
"Bukan, Budi andukk!!" kata Roni
Huahahaha..... semua pada ketawa

udah, gitu doank,,, knp, ga luchu ya??!

Go To Taman Sari

Hari minggu kemaren gw diajakin berenang ama si joe(joko). oke, kebetulan gw udah lama ga berenang en itung-itung refreshing aja, sebelom UTS kayaknya gw perlu tenangin diri dulu. gw ajak temen kosan gw si Imron ama erli, mereka mau berangkat. kita ngumpul di mes kamda bekasi. disana udah ada Kliwon, anwar, sama fandi. tapi joe belom dateng. ya udah, kita tungguin. akhirnya setelah 15 menit, joko datang juga. kita ber 8 pergi pake motor. rencana kita mau berenang di kolam renang.(ya iya lah, masa di kalimalang... hee..) maksudnya di kolam renang taman sari jakasampurna. sampai disana langsung deh kita lepas baju en ganti celana. pas gw mau pake celana pendek, ko' ga ada! waduh, celana pendek gw ketinggalan...!! terpaksa gw nyewa celana renang, dikasih yang pendek banget,, gw minta yang rada panjangan, ga' ada, dah abis disewa orang.
gw agak canggung nieh, coz celananya pendek beud. tengsin sih, tapi ya mo gimana lagi. untungnya ga banyak cewe'.
xxxxxxxxxxxxxxx
lagi enak-enak berenang, gw ditarik ama si joko de dasar, ampe gw ngap-ngapan. sialan tuh si joko, ampir gw pingsan. ah, udahan dulu. gw cape'. gw istirahat duduk-duduk dibangku. pas gitu, ada orang berenang ke arah joko, eh si joko maen tarik-tarik aja orang itu, pas dia sadar, "eh, maap mas . kirain temen saya" katanya. "makanya,jadi orang jangan jail jo!" kata gw. "gw kirain itu elo di", kata dia lagi. malu banget tuh kaya'nya.
si imon juga kena jail dari joko. dia mo balas dendam. dia lagi di atas, si jo di lelepin ke bawah, nah, gw jorogin dah tuh si imron, nyemplung juga akhirnya. udah tuh ribut si imron ama si joko.
xxxxxxxxxxxxxxxxx
yang lucu lagi si imron ngajakin balapan ama pandi. mungkin karena ngeliat si pandi badannya gemuk kaya' gitu, disangkanya pandi ga bisa berenang. pas di adu, waw...! luar biasa pandi dengan badannya yang buncit itu ternyata renangnya jago banget. si imron malah ga finish. ternyata kita ga bisa menilai orang dari penampilannya aja.
kliwon doang yang ga berenang, dia ga bisa berenang. sebagai gantinya, dia gw suruh fotoin kita. pas kita semua udah beres, "won, mana fotonya, gw liat donk.." ,, pas gw liat, "waduuuh,, ko' jelek-jelek amat sih, lu bsa motret ga sih?"
"engga" . katanya dengan perasaan ga bersalahnya.
"wah, bukanya bilang dari tadi". kacau, ga' ada dokumentasi weekend kali ini.

xxxxxxxxx

besoknya pas bangun tidur, pegel- pegel nih badan gw, aduuh gara-gara kemaren berenang. hari ini UTS lagi....

Jumat, Mei 08, 2009

Bingkai

Cerpen Kurnia Effendi

UNDANGAN dari Susan kuterima di kantor menjelang pukul tiga, ketika aku keluar dari ruang rapat. Rencana menyeduh kopi untuk mengusir kantuk segera terlupakan. Perhatianku tersita pada amplop yang didesain sangat bagus.

Saat kubuka sampul plastiknya, telepon di mejaku berdering. Aku mengangkat telepon tanpa menghentikan upayaku mengeluarkan art-carton yang dicetak dengan spot ultra violet pada tulisan "Bingkai".

"Selamat siang dengan Dudi, Auto Suryatama," sambutku automatically.
"Ahai, tumben kamu ada di tempat!" Seru suara dari seberang.

"Maaf, siapakah ini?"
"Susan! Kamu lupa suaraku? Padahal baru dua bulan yang lalu kita bertemu. Tak hanya bertemu, karena sepanjang dua malam kita bersama-sama." Ada nada gemas yang merasuk ke telingaku. "Sorry, aku telepon ke kantor. Hp-mu tidak aktif."

"Astaga!" Aku tertawa dan meminta maaf. Bukan tidak aktif, lebih tepat: nomornya berbeda. "Aku baru saja menerima sebuah undangan, jadi konsentrasiku bercabang. Tampaknya ini undangan darimu! Jadi rupanya kamu serius dengan rencana itu?"

"Tentu! Kenapa tidak? Kamu pasti ingat cita-citaku sejak SMA. Sudah sejak lama aku bermimpi bisa tinggal di Ubud. Tapi tidak mungkin aku terus-terusan berlibur membuang uang di sana. Jadi kuputuskan untuk mendapatkan kepuasan batin sekaligus finansial…"

"Aku harus bertepuk tangan untuk kegigihanmu. Hebat!"
"Ini juga karena ada bara cinta yang terus-menerus membakar."

Aku terkesiap mendengarnya.
"Cintamu, Dudi!" sambung Susan.

Entahlah: seharusnya aku melonjak gembira atau terkesiap waspada mendengar ucapannya yang demikian mantap? Tentu agak mengherankan jika seorang gadis Solo memekikkan kata itu, bukan membisikkan, yang mudah-mudahan tidak sedang antre di depan kasir supermarket.

"Dudi, kenapa kamu diam saja?"
"Oh, sorry! Sebenarnya aku mau melonjak-lonjak, tapi tentu salah tempat. Di depan mejaku sudah ada yang menunggu, mau membicarakan pekerjaan…"
"Oke, Sayang. Aku akan meneleponmu lagi nanti. After office hour, ya!"

Gagang telepon masih di telinga, menunggu Susan memutuskan hubungan. Bahkan setelah hubungan telepon terputus, seperti masih kudengar nada gembira Susan di telinga. Rembes ke dalam hati. Aku menghela napas seperti keluar dari ruang yang pengap, dan kusandarkan punggungku ke kursi yang lentur. Tak ada siapa-siapa di depanku. Jadi, aku tadi berdusta. Maafkan aku, Susan. Ternyata aku telah banyak berdusta. Tapi, percayalah, kasih sayangku kepadamu begitu jujur.
***
SEINGATKU tadi Lanfang minta dibawakan kue, karena malam ini sepupunya akan datang. Sambil meluncur pulang aku merencanakan singgah di sebuah bakery. Ada toko kue langganan sebenarnya, tapi di tengah perjalanan aku terpikat pada kerumunan yang mengundang selera untuk mampir. Selintas kulihat, di kiri dan kanan tempat ramai itu juga ada kafe dan kedai roti. Jadi tak terlampau salah jika aku sejenak berhenti dan mencari tempat parkir. Untung Swift yang kukendarai bukan tipe mobil besar, sehingga mudah mendapatkan tempat.

Rupanya sedang berlangsung seremoni pembukaan sebuah galeri, yang ditandai dengan pameran karya para pelukis muda Surabaya. Kulihat sepintas, ada Joko Pekik di ruang benderang itu: ikut berpameran atau hanya diminta pidato? Entahlah! Yang terbayang olehku adalah peristiwa serupa, yang akan berlangsung minggu depan di Ubud. Dan di tengah lingkaran para tamu, kuangankan si anggun Susan, dengan rambut dibiarkan terurai, bak burung merak yang tersenyum lebar memperkenalkan galerinya. Apa namanya tadi? Bingkai!

Aku turun dari mobil, melenggang masuk dalam kerumunan. Siapa pemilik galeri ini? Kalau Lanfang tahu, tentu ingin juga "cuci mata" di sini, apalagi dia sedang keranjingan mengapresiasi seni lukis, gara-gara pernah diminta oleh majalah untuk menulis liputan pameran di Balai Pemuda. Waktu itu dia mengeluh, karena tak tahu harus mulai dari mana untuk menilai lukisan.

"Aku iki isane nulis cerpen, lha kok dikongkon gawe resensi lukisan, yok opo sih?!" Ya. Aku ini bisanya cuma menulis cerpen, kenapa disuruh membuat apresiasi lukisan, bagaimana sih?!

Aku nyaris terpingkal melihat dia mencak-mencak. Tapi rasa ingin tahu dan semangat belajarnya cukup tinggi, sehingga waktu itu, selang sehari dia bisa bertemu dengan beberapa pelukis. Bahkan hari berikutnya dia berhasil membuat janji dengan seorang kurator untuk berbincang-bincang. Seharusnya kini ia berterima kasih kepada majalah wanita di Jakarta yang pernah memintanya untuk melakukan itu. Karena sekarang pikirannya lebih sensitif terhadap seni lukis dan grafis.

Sepuluh menit kuhabiskan waktu di galeri yang berinterior minimalis. Meskipun tampaknya tidak perlu menunjukkan undangan, tapi aku tentu bukan tamu yang dimaksud. Selanjutnya aku masuk ke kedai roti di sisi kanan, dan memenuhi pesanan Lanfang.

Sepanjang sisa jalan pulang, yang kupikirkan adalah cara pergi ke Bali. Meskipun Surabaya tak terlampau jauh dari Bali, rencana ke sana di luar tugas kantor tentu akan memancing keinginan Lanfang untuk ikut. Itu tak boleh terjadi! Tidak mungkin mempertemukan dua perempuan yang kusayang itu dalam satu ruang dan waktu. Bukan khawatir akan menjadi gagasan buruk sebuah novel bagi Lanfang, tetapi pasti menyebabkan tiupan badai yang kemudian merubuhkan perkawinan.

Jadi, mesti ada perjalanan dinas ke Bali! Barangkali, agar tidak terlampau mencurigakan, isu itu harus kuembuskan ke telinga Lanfang sejak dini. Nanti malam, sebelum bercinta. Dengan demikian, tidak terkesan sebagai kepergian mendadak. Tapi… astaga, bukankah benak perempuan sering dihuni oleh akal yang fantastik? Bisa jadi, karena waktunya masih lama, Lanfang membongkar tabungan dan berinisiatif untuk ikut. Dengan cara itu, biaya penginapannya gratis, bukan?

Keringat mengembun di keningku. Tiba-tiba pendingin udara dalam mobil terasa tak sesejuk biasanya. Mungkin sebaiknya kusampaikan sehari menjelang keberangkatan. Sambil pura-pura mengeluh: kenapa perusahaan tidak pernah mempertimbangkan karyawan, seenaknya saja menugaskan keluar kota tanpa perencanaan yang matang. Aha, aku tersenyum membayangkan reaksi Lanfang, yang akan menghibur dengan: "Ya sudahlah, namanya juga tugas. Tentu ada hal yang bersifat urgent di sana." Seraya mengelus pipiku. Dan aku akan memeluknya dengan manja seperti bayi.

Tapi tarikan pipiku berubah. Senyumku beralih rasa cemas. Bagaimana jika Lanfang justru menyikapi dengan kalimat seperti ini: "Ya sudah, biar tidak suntuk di sana, aku ikut menemani. Malamnya kan bisa jalan-jalan ke kafe di Legian atau Kuta."

Belokan terakhir menjelang tiba di rumah mendadak terasa tidak nyaman. Padahal tak ada "polisi tidur" di situ. Tapi aku berharap jarak yang kutempuh masih panjang dan perlu beberapa lampu merah. Agar sempat mengatur strategi yang paling masuk akal. Namun pikiran itu tercerabut sewaktu telepon selularku bergetar. Susan!

"Hai, aku lupa meneleponmu! Tadi ada kawan yang tanya ini-itu soal acara di Ubud. Biar murah aku menggunakan event organizer milik teman SMP-ku."

"O, no problem. Kebetulan aku sudah di jalan raya."
"Ya sudah, aku paling benci melihat orang mengemudi sambil telepon. Sampai besok, ya. Mmmuah!"

Rasanya pipiku jadi basah oleh sentuhan bibirnya. Kuembuskan napas keras-keras dan mengharap rasa nyaman masuk ke dalam hati. Pagar rumah sudah di depan mata. Langit mulai gelap, lampu-lampu teras di kompleks perumahan sudah menyala. Dan seperti biasa, pembantu segera menarik-geser gerbang besi yang warnanya sudah mulai pudar. Aku memarkir mobil ke carport.

"Ingat pesananku?" Lanfang menyambut di pintu.
"Tentu, Cantik." Kuangkat tinggi-tinggi oleh-oleh titipannya.

"Terima kasih." Dipeluknya aku, meskipun aroma tubuhku tak sesegar tadi pagi. Lalu jemarinya membuka dasi dari leherku. Mudah-mudahan itu bukan caranya mencari harum parfum lain yang mungkin menempel di bajuku. Mudah-mudahan.

Yang tak ingin terjadi adalah: Lanfang menemukan undangan Susan. Aku mesti menyimpannya di tempat yang jauh dari jangkauan Lanfang.
***
AKU akan datang sehari sebelum grand opening Galeri Bingkai, yang ternyata letaknya tak jauh dari Galeri Rudana. Tempat yang sungguh rupawan dan sesuai dengan selera Susan. Dia seorang pemilih yang baik. Dia pula yang memilihkan hotel ketika aku bertugas ke Solo.

"Kamu harus menginap di Lor In," usulnya. Karena tempat itu memiliki banyak taman yang khas gaya Bali. Walaupun, ketika sudah melebur di kamar tidur yang luas, nyaris tak berbeda dengan hotel lain. Ingatanku justru selalu tersangkut pada rambut Susan yang berulang kali memenuhi wajahku. Biasanya kesibukan yang membuat tubuh kami lembab itu akan berakhir dengan aroma terapi di seluruh kamar mandi. Harum cendana memenuhi bath-tub.

"Cantik, akhir-akhir ini kamu begitu sibuk." Aku menelepon Lanfang dari kantor.
"Ya. Dalam seminggu ini aku harus sudah selesai memeriksa dan memberikan persetujuan pada calon bukuku sebelum naik cetak. Kenapa?"

"Besok aku tugas ke luar pulau. Ke Lombok, tapi mungkin singgah di kantor cabang Bali dulu. Aku belum sempat membereskan kopor, bisa minta tolong?"

"Oke, tak masalah. Kok mendadak? Berapa hari?"
"Baru kudapat surat tugasnya tadi siang. Sekarang aku harus mengambil tiket sendiri ke agen. Sekitar tiga-empat hari, tergantung bagaimana kondisi network di Lombok."

"Yo wis, ojo bengi-bengi mulihe. Kamu perlu istirahat malam ini."
Tentu tidak akan larut malam, karena sebenarnya tiket sudah kupegang. Tapi yang penting aku tahu, Lanfang begitu sibuk membaca ulang naskahnya yang sudah di-setting.

Rasanya tadi Lanfang mengingatkan agar aku cukup istirahat malam ini. Tetapi yang dilakukan berbeda dengan sarannya. Ia menandai halaman buku yang sedang dibaca, menyurutkan lampu kamar hingga temaram, lalu masuk ke bawah selimutku. Cumbuannya selalu dimulai dari bibir. Mungkin untuk mengingatkanku bahwa ia sesungguhnya tak hanya cerewet, tapi juga cekatan ketika pekerjaan larut malamnya dilakukan tanpa kata-kata.

Sebelum tertidur, Lanfang membiarkan wajahku menyusup ke lehernya. Ke dekat urat nadinya. Setidaknya ia tahu bahwa napasku terembus penuh cinta. Tetapi besok, begitu tiba di Denpasar, kutelepon Lanfang seperlunya, selanjutnya aku akan menggunakan nomor lain. Hanya Susan yang tahu nomor itu. Bagaimanapun, berdusta itu mendebarkan!
***
AKU memarkir mobil yang kupinjam dari kantor cabang di Bali. Senja baru saja lenyap. Kudengar musik sayup gamelan Bali. Rupanya Susan telah mengemas suasana menjadi begitu etnik. Kulihat dinding teras galeri mungil itu dibuat dengan batu paras. Lantai batu alam membuat kesan natural lebih mendalam. Cahaya lampu yang menyiram beranda langsung memperlihatkan wajahku, sehingga Susan yang --seperti telah kuduga sebelumnya-- anggun dengan rambut terurai dan mengenakan kain corak Bali, menoleh ke arahku. Senyumnya merekah. Aku melihat matanya berbinar.

"Oke, teman-teman, para undangan dan wartawan, kekasih yang kutunggu sudah tiba. Kita akan mulai acaranya…"
Aku agak kikuk, namun Susan meleburnya dengan pelukan yang begitu mesra. Ada beberapa bule yang hadir di sana. Justru membuat Susan tidak merasa sungkan mencium bibirku. Dan entah kenapa, para wartawan itu begitu gemar dengan hal-hal yang berlangsung sebentar tetapi berdenyar. Mereka memotret. Sejenak mataku silau.

Namun ketika pelukan Susan lepas dan aku mencoba mengitarkan pandangan, di antara pengunjung kulihat seseorang yang sangat kukenal. Mataku masih terpengaruh oleh kilat lampu blitz. Tapi tidak mungkin lupa wajah istriku.

Lanfang ada di sudut itu! Dengan sebuah kamera digital di tangannya. Wajahnya tertegun. Atau terpesona? Tapi parasnya memucat.
"Baiklah," ujar master of ceremony. "Kita akan mendengar awal gagasan mengenai Galeri Bingkai. Silakan Susan bercerita untuk kita…"

Selanjutnya telingaku tidak menangkap kata-kata Susan, karena segera bergegas mengejar Lanfang yang beringsut begitu cepat ke arah pintu keluar. Aku mengutuk diriku yang mengganti nomor handphone. Pasti ia telah mencoba menghubungiku sejak kemarin. Apakah aku juga harus mengutuk majalah yang memintanya meliput acara ini? Bukankah dia sedang sibuk dikejar batas waktu oleh penerbit bukunya?

"Lanfang!" aku memanggil.
Di luar sunyi, tapi tidak dengan degup jantungku yang gemuruh.

"Nama Bingkai kupilih karena…." Suara Susan semakin sayup. Sementara di taman yang separuh gelap itu, aku mencari degup jantung Lanfang. ***

dapet ngedownload di http://www.kolomkita.com/

Selasa, Mei 05, 2009

Oh Bunda


Bunda, kau begitu menjengkelkan
Kau nasehati aku dengan nasehat yang membosankan
Kau berikan saran yang tak berpihak padaku
Kau paksa aku tuk turuti printahmu

Dan kini ku tahu arti semua itu
Semua yang kau lakukan padaku
Semata-mata hanya demi kebaikanku
Anakmu yang kau cintai

Kau bagaikan pelita di gelapnya malam
Yang menyalakan harapan dalam hidupku
Kau bagaikan mentari pagi
Yang menghangatkanku kala kedinginan
Kau bagaikan udara
Yang berikan ku nafas sepanjang hidupku

Bunda, maafkan aku atas segala kekhilafanku
Aku t’lah lama melupakan bunda dari hidupku
Yang tlah lupa akan kasihmu yang begitu besar
Yang memberikan arah dalam mengarungi hidup

Terlalu besar yang bunda berikan padaku
Tak kuasa aku membalas semua yang kau berikan
Hanya Doa yang dapat ku persembahkan untukmu
Tuhan, sayangilah bunda, sebagaimana dia menyayangiku sewaktu kecil

Manusia Bodoh


T’lah kusadari dan kursakan

Perhatian yang kau berikan padaku

Dan tak dapat kupungkiri

Betapa bahagia hatiku ini


tiada detik yang berlalu dalam hidupku

tanpa hadirnya bayang dirimu

mungkin itu juga yang kau rasakan

terukirkah namaku dalam hatimu


Ternyata semua itu

Tak seperti yang kuharapkan

Bukan itu yang kau rasakan

Rasa kita tak sama

kini kusadari ku t’lah salah menilaimu

dan ku akui betapa bodoh diriku

kumohon maafkanlah diriku

yang t'lah menyimpan setitik harapan

tuk tinggal dalam hatimu